Rabu, 02 Mei 2012

Warisan budaya yang melekat pada setiap manusia indonesia


Pembukaan
Di dalam artikel ini kita aka membahas tentang sejarah peninggalan bangsa indonesia yang masih tersisa hingga saat ini, terutama pada suku atau etnis batak. Diantaranya ada beberapa tempat, kain ulos,Tortor atau tarian, bagian dari kebudayaan dan kebudayaaan adalah jati diri suatu bangsa. Suatu bangsa diperbedakan dari yang lain melalui kekhasan kebudayaannya. Tatkala simbol-simbol kebudayaan lokal Indonesia dipakai sebagai salah satu elemen iklan pariwisata Malaysia, reaksi keras masyarakat Indonesia bermunculan yang didasari oleh rasa cinta sekaligus kekhawatiran masyarakat akan hilangnya kebudayaan tradisional mereka. Bangsa Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya. Letak geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan menyebabkan perbedaan kebudayaan yang mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku masyarakat. Kita dapat melihat hal ini pada suku-suku yang terdapat di Indonesia. Salah satu contohnya adalah suku Batak. Suku batak terbagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu batak toba, batak simalungun, batak karo, batak pakpak dan batak mandailing. Dalam hal ini Saya mengambil pembahasan tentang batak toba.
Namun di antara semua itu masih banyak lagi peninggalan bangsa indonesia yang tak terhingga jumlah maupun nilainya.
Isi
Masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah dataran tinggi Batak bagian Utara merupakan suatu suku yang terdapat di provinsi Sumatera Utara. Dalam masyarakat Batak Toba, dibagi lagi dalam suatu komunitas seperti sub suku menurut dari daerah dataran tinggi yang didiami. Seperti wilayah Silindung yang di dalamnya masuk daerah di lembah Silindung yaitu Tarutung, Sipahutar, Pangaribuan, Garoga dan Pahae. Daerah Humbang diantaranya Dolok Sanggul, Onan Ganjang, Lintong Ni huta, Pakkat dan sekitarnya. Sementara Toba meliputi Balige, Porsea, Samosir, Parsoburan dan Huta Julu.
Dari ketiga daerah Batak Toba tersebut, juga memiliki perbedaan dalam hal adat – istiadat juga, diantaranya perbedaan dalam tata adat perkawinan, pemakaman juga dalam pembagian warisan. Dan dalam adat – istiadat juga ada beberapa daerah yang sangat patuh terhadap dalam adat atau dengan kata lain adat – istiadat nya sangat kuat, itu dikarenakan daerah dan keadaan daerah yang masih menjunjung tinggi sistem adat- istiadat. Daerah yang sangat menjunjung tinggi adat – istiadat tersebut adalah masyarakat daerah Humbang dan daerah Toba. Masyarakat ini biasanya selalu mempertahankan kehidupan dari budaya dan adat – istiadat mereka.
Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan yang Patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Namun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah. Apalagi pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita dan pria terutama dalam hal pendidikan.
Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan adalah anak laki – laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki – laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki – laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak – anak nya dalam pembagian harta warisan.
Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian warisannya.
Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun – temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan.
Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan adat – istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata oleh semua anak laki – laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan kampong halaman nya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka itu Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan).
Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga.
Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak dilakukan oleh masyarakat batak. Khususnya yang sudah merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak antara laki – laki dan perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau daerah lah yang masih menggunakan waris adat seperti di atas. Beberapa hal positif yang dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku Batak Toba yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan dalam suku batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun orang batak berada adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah hilang. Bagi orang tua dalam suku batak anak sangatlah penting untuk diperjuangkan terutama dalam hal Pendidikan. Karena Ilmu pengetahuan adalah harta warisan yang tidak bisa di hilangkan atau ditiadakan. Dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan maka seseorang akan mendapat harta yang melimpah dan mendapat kedudukan yang lebih baik dikehidupan nya nanti. Berbagai kebudayaan yang sudah sejak dulu dan melekat ke dalam identitas Indonesia tidak lepas dari proses interaksi dengan pengaruh-pengaruh bangsa-bangsa lain. Tidak ada produk budaya yang murni hadir tanpa proses interaksi dengan yang lain. Menjadi khas saat ada tafsir yang estetis diwujudkan ke berbagai bentuk produk kebudayaan. Lokalitas itulah yang otentik.
Meski pernah didefinisikan, kebudayaan nasional puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah, bukan berarti ditafsirkan sebagai homogenisasi atas produk-produk kebudayaan lokal. Indonesia hanya merangkai suatu mosaik khazanah kebudayaan yang kaya, Bhinneka Tunggal Ika.
Reorientasi pola pikir
Satu peninggalan berharga atas Polemik Kebudayaan 1930-an melibatkan Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Sutomo, Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka dan lainnya, mengajarkan kepada kita pentingnya pola pikir kebudayaan yang tepat bagi bangsa kita yang plural ini.
Polemik kebudayaan perlu dilanjutkan, setidaknya untuk merangsang progresivitas pemikiran kebudayaan kita sebagai bangsa yang harus lebih maju. Bahaya besar akan muncul jika soal-soal gagasan kebudayaan tidak lagi didiskusikan secara terbuka dan merangsang suatu pemikiran terobosan bagi bangsa yang saat ini banyak dirundung masalah ini. Polemik kebudayaan itu jangan hanya disimpan di laci sejarah.
Jika kesadaran kebudayaan (maknanya lebih luas ketimbang kesenian) tertanam di benak kita sebagai bangsa yang besar dan punya banyak potensi, setidaknya upaya untuk menemukan kembali orientasi kita sebagai bangsa yang digagas oleh pendirinya berdasarkan falsafah Pancasila tidak sulit. Munculnya aneka protes sebagai bentuk ketersinggungan atas klaim produk-produk kebudayaan kita oleh Malaysia seharusnya segera memicu perlunya dipikirkan kembali hal-hal mendasar atas politik kebudayaan kita. Hendak diarahkan ke mana kebudayaan bangsa ini?
Berbagai kebudayaan yang sudah sejak dulu dan melekat ke dalam identitas Indonesia tidak lepas dari proses interaksi dengan pengaruh-pengaruh bangsa-bangsa lain. Tidak ada produk budaya yang murni hadir tanpa proses interaksi dengan yang lain. Menjadi khas saat ada tafsir yang estetis diwujudkan ke berbagai bentuk produk kebudayaan. Lokalitas itulah yang otentik.
Meski pernah didefinisikan, kebudayaan nasional puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah, bukan berarti ditafsirkan sebagai homogenisasi atas produk-produk kebudayaan lokal. Indonesia hanya merangkai suatu mosaik khazanah kebudayaan yang kaya, Bhinneka Tunggal Ika.
Reorientasi pola pikir
Satu peninggalan berharga atas Polemik Kebudayaan 1930-an melibatkan Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Sutomo, Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka dan lainnya, mengajarkan kepada kita pentingnya pola pikir kebudayaan yang tepat bagi bangsa kita yang plural ini.
Polemik kebudayaan perlu dilanjutkan, setidaknya untuk merangsang progresivitas pemikiran kebudayaan kita sebagai bangsa yang harus lebih maju. Bahaya besar akan muncul jika soal-soal gagasan kebudayaan tidak lagi didiskusikan secara terbuka dan merangsang suatu pemikiran terobosan bagi bangsa yang saat ini banyak dirundung masalah ini. Polemik kebudayaan itu jangan hanya disimpan di laci sejarah.
Jika kesadaran kebudayaan (maknanya lebih luas ketimbang kesenian) tertanam di benak kita sebagai bangsa yang besar dan punya banyak potensi, setidaknya upaya untuk menemukan kembali orientasi kita sebagai bangsa yang digagas oleh pendirinya berdasarkan falsafah Pancasila tidak sulit.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan, sekarang ini saatnya membangun karakter bangsa melalui nilai-nilai budaya. Karya-karya budaya bangsa itu harus diusahakan agar masuk dalam akar kehidupan kita.
Setelah Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan wayang, keris, dan batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia, menjadi tugas kita agar nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya bisa menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Tugas kita sekarang tidak hanya melestarikannya, tetapi bagaimana mengusahakan agar nilai-nilai budaya itu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tugas kita bagaimana agar karya-karya budaya bangsa itu masuk ke akar kehidupan masyarakat. Itu tidak mudah, tetapi tugas itu niscaya amat penting dan mulia.
Pengakuan MURI (Museum Rekor Indonesia) terhadap tortor Batak yang diselenggarakan Punguan Simbolon dohot Boruna Indonesia (PSBI) yang diikuti oleh sekitar 7.000 (tujuh ribu) orang penari di Istora Senayan 25 Juli 2010 lalu menunjukkan kecintaan Masyarakat Batak terhadap budayanya tanpa harus mendaftarkan diri ke UNESCO. Dilanjutkan lagi dengan Manortor Tandok Boras di Lapangan Benteng Medan oleh lebih seribu orang wanita Batak pada tanggal 10 Juli 2011 lalu. Tortor atau tari ini digelar dalam rangka memperingati Hari Ulang tahun Punguan Simbolon dohot Boruna Indonesia (PSBI) dan memperoleh penghargaan MURI (Museum Rekor Indonesia).
Tari kolosal ini tidak sekedar show of force, tetapi merupakan misi PSBI dalam rangka melestarikan nilai-nilai luhur budaya Bangsa di kalangan orang Batak sekaligus menunjukkan masih tingginya kecintaan masyarakat Batak akan budayanya. Effendi MS Simbolon mengatakan, kecintaan dan rasa memiliki terhadap budaya lokal harus diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bukan hanya mengaku tanpa aksi nyata.
Menurut hemat saya, pemerintah perlu memberikan apresiasi dan penghargaan kepada pelaku-pelaku pelestarian budaya seperti Effendi MS Simbolon sebagai tokoh muda yang peduli dengan pelestarian budaya lokal.
Dengan upaya pelestarian budaya yang dilakukan Marga Simbolon, diharapkan ada marga lain seperti marga Siahaan, Panjaitan, Simanjuntak mau mengikutinya. Kekayaan budaya kita menjadi asset bisa dijual untuk memajukan kepariwisataan dan menghasilkan secara ekonomis sekaligus sebagai alat peningkatan kesejahteraan bersama. Masyarakat Batak tercatat sangat antusias dengan budayanya, tapi bagaimana para tokoh budaya Batak menanamkan nilai-nilai luhur itu bersemayam di lubuh hati setiap orang Batak.
Kepedulian Pemerintah
Mencermati sejumlah kasus besar yang terjadi sepanjang tahun 2009, seperti kasus Proyek Pusat Informasi Majapahit di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur dan kasus munculnya tari pendet dari Bali dalam iklan pariwisata Malaysia yang menimbulkan berbagai reaksi di Tanah Air, seperti menegaskan betapa keperdulian pemerintah terhadap budaya masih minim.
Terlepas dari persoalan mematenkan budaya lokal, keperdulian pemerintah baru sebatas mengejar sertifikat sebagai warisan budaya dunia, seperti untuk wayang, keris dan batik. Menjadi pertanyaan, setelah sertifikat itu didapatkan, mau dibawa ke mana kekayaan khazanah budaya bangsa ini? Bagaimana dengan budaya/seni tradisi di banyak daerah yang kini keberadaannya mencemaskan dan terancam punah? Terlalu panjang diurai mengapa kondisi seperti itu terjadi. Keberpihakan pemerintah terhadap kesenian tradisi/budaya lokal masih setengah hati. Terbukti dengan relatif kecilnya anggaran untuk pembinaan seni tradisi tersebut.
Belajar dari asing
Selama ini, pihak asing begitu perduli dengan khazanah budaya Indonesia. Jangan heran, di beberapa kesenian tradisi, orang kita belajar pada pihak asing.
Salah satu hasil kebudayaan kita sudah lama menjadi perhatian orang asing adalah naskah. Naskah-naskah dari Kepulauan Nusantara kini tersimpan di beberapa perpustakaan di sejumlah negara di dunia, seperti Belanda, Inggris, Perancis, Portugal, Jerman, Denmark, Australia dan Rusia. Naskah-naskah Nusantara itu dijaga dengan baik di luar negeri. Mereka sadar sekali, the knowledge is power.
Sekarang terdapat puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu lagi, naskah-naskah yang masih tersebar di masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Minat bangsa asing terhadap naskah-naskah Indonesia tetap tinggi. Di Indonesia sendiri terjadi hal sebaliknya, jangankan menambah koleksi naskah (atau mereproduksinya dari masyarakat), naskah-naskah yang tersimpan di perpustakaan saja sering hilang.

Pembahasan.
diantara sekian banyak peninggalan bangsa indonesia, hanya sebagian kecil saj yang masih terawat ataupun dijaga, banyak diantaranya yang terbengkalai dan tidak terurus. nah sebagai warga negara yang yang baik bagaimanakah seharusnya sikap kita terhadap semua yang seharusnya dijaga ini?
Sikap yang pantas kita jalani adalah menjaganya agar peninggalan-peninggalan yang berharga ini dapat bertahan selamanya. Dan dapat dinikmati juga oleh keturunan-keturunan kita yang lainnya.  Litbang Harian Kompas pernah melakukan jajak pendapat terhadap 866 responden, menghasilkan mayoritas responden (97,6 persen) menyatakan amat bangga dengan kebudayaan lokal yang mereka miliki. Bahkan, rasa bangga yang mereka ekspresikan ini sejalan pula dengan opini mereka (99,3 persen) menyatakan perlunya melestarikan produk budaya Indonesia. Artinya, dari sisi penyikapan masyarakat, tidak ada yang patut dikhawatirkan dengan ancaman akan tergerusnya produk budaya negeri ini akibat pola penyikapan warganya.

Penutup
Sekian pembahasan mengenai peninggalan-peninggalan bangsa indonesia yang tidak ternilai harganya ini, terutama dilihat dari sisi suku batak yang beraneka ragam . Semoga semua bacaan yag anda lihat dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan pemerintah pun harus, dan perlu segera secara serius melindungi eksistensi produk budaya lokal ini dengan mematenkan produk-produk budaya lokal di lembaga internasional.

Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar